Wednesday, February 28, 2018

Anggota Muslim Cyber Army Komunikasi Pakai Aplikasi Zello Agar Tak Terdeteksi

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Pihak kepolisian menyatakan anggota Muslim Cyber Army (MCA) melakukan komunikasi dengan aplikasi Zello agar pembicaraan mereka tidak terdeteksi.

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Muhammad Fadil Imran menyatakan, komunikasi ini dilakukan untuk menyampaikan tugas dan pelatihan masing-masing anggota. Fadil menyatakan, selain Zello, penyampaian tugas juga dilakukan melalui Facebook dan Telegram.

Anggota Muslim Cyber Army Komunikasi Pakai Aplikasi Zello Agar Tak Terdeteksi
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Fadil Imran menunjukkan lima foto tersangka terkait pengungkapan kasus penyebar ujaran kebencian dan provokasi melalui media sosial yang dikenal dengan The Family Muslim Cyber Army (MCA), Jakarta, Rabu (28/2/2018). tirto.id/Andrey Gromico
"Mereka dites produksi, visi-misi, dan sebagainya, dan punya kemampuan komputer apa. Supaya enggak keciduk, mereka pakai aplikasi Zello, yaitu sejenis aplikasi kayak handy talkie di handphone," tegas Fadil di Gedung Siber Bareskrim Mabes Polri, Cideng, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (28/2/2018).

Fadil menerangkan, MCA terbagi menjadi tiga grup di Facebook, yakni The United Muslim Cyber Army, Cyber Moeslim Defeat MCA, dan Sniper Team. Satu yang lain adalah The Family MCA di aplikasi WhatsApp.

"Itu yang tadi United MCA itu adalah forum grup WhatsApp yang semua bisa akses, nanti kan kelihatan mana yang bisa menjadi member sejati, mana yang cuma ikut-ikutan," terang Fadil.

Sampai sekarang, polisi belum bisa memastikan motif yang melandasi tindakan MCA. Namun, Fadil membuka kemungkinan adanya faktor politis dalam penyebaran hoaks yang dilakukan oleh MCA.

"Terkait motif dengan yang lainnya [masih didalami], 'kan digital forensik sedang berjalan. Kalau kami melakukan pemeriksaan berdasarkan tanya-jawab 'kan bisa ngelantur ke sana-ke mari, tapi kami ada pegangan scientific untuk melakukan integrasi terhadap mereka semua," katanya lagi saat dikutip dari Tirto.

Fadil menduga ada banyak kelompok MCA lain yang terafiliasi dengan 14 pelaku yang sudah tertangkap. Hal ini didasari fakta grup United MCA terbuka untuk umum.

"Struktur, cara kerja, kontennya, kami evaluasi secara mendalam. Kami bekerja dengan tim internal kepolisian," katanya lagi.

Baca :


Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap 14 anggota grup WhatsApp The Family of MCA, Senin (26/2/2018) dan Selasa (27/2/2018). Penangkapan ke-14 orang ini diduga terkait dengan jaringan penyebar ujaran kebencian yang diduga beroperasi di wilayah siber.

Grup ini mengasosiasikan diri dengan MCA, istilah yang dikenal warganet sebagai akronim dari Muslim Cyber Army—. MCA mulai dikenal warganet saat hiruk pikuk Pilkada DKI 2017, kelompok ini terkenal lantaran menjadi oposan dari petahana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama-Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat. (***)

Anggota The Family MCA Mengaku Tak Tahu yang Disebarkan adalah Hoax

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Salah satu admin grup WhatsApp The Family MCA, Muhammad Luthfie mengaku tak tahu bahwa informasi yang ia sebarkan itu adalah hoaks.

Hal itu diungkapkannya saat konferensi pers tentang pengungkapan kasus penyebar ujaran kebencian dan hoaks yang dilakukan oleh kelompok Muslim Cyber Army di Gedung Siber Bareskrim Polri, Cideng, Tanah Abang, Rabu (28/2/2018).

Anggota The Family MCA Mengaku Tak Tahu yang Disebarkan adalah Hoax
Lima tersangka kasus penyebar ujaran kebencian dan provokasi melalui media sosial yang dikenal dengan The Family Muslim Cyber Army (MCA) diungkap Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (28/2/2018). tirto.id/Andrey Gromico
"Kami dibilang hoaks atau bohong, karena kami tersangka. Ada perbedaan yang telah disampaikan oleh salah satu kepolisian, yang saya enggak tahu pangkatnya yang inisialnya S, dia yang menyadarkan kami semua di sini," kata Luthfie.

Menurut Polisi, Luthfie adalah pencetus di balik penyebaran hoaks dan ujaran kebencian ini. Ia lantas membentuk grup The United Muslim Cyber Army, Cyber Moeslim Defeat MCA, dan Sniper Team di Facebook.

Luthfie mengaku bersalah dan menyampaikan permintaan maafnya. Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.

"Terutama bangsa Indonesia, yang dipimpin oleh jajaran paling tertinggi, kepada Mabes juga yang ada di sini, cyber crime, saya mengakui telah menyesal, dan tadi juga sepakat teman-teman mengakui juga kepada saya, menyesal mereka semua," kata Luthfie lagi.

Sementara itu, seorang dosen yang diduga sebagai anggota United MCA, berinisial TAW mengaku tidak tergabung sebagai bagian penyebaran hoaks sama sekali. Ia juga menyebut tidak termasuk bagian MCA di grup Facebook ataupun pada Pilkada 2017 lalu.

"Saya nggak ngerti," katanya. "Tanya saja kepada mereka [penyidik]."

TAW diduga menyebarkan berita hoaks mengenai dibunuhnya seorang muazin Majalengka oleh orang yang berpura-pura gila. Ia menyebarkannya melalui akun Facebook bernama Tara Devs Sams.

TAW ditangkap pada Senin (26/2/2018) dan dibawa ke Jakarta untuk ditahan bersama pelaku yang merupakan bagian dari grup The Family of MCA.

Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Muhammad Fadil Imran menyampaikan bahwa anggota Muslim Cyber Army (MCA) melakukan komunikasi dengan aplikasi Zello agar pembicaraan mereka tidak terdeteksi.

Fadil menyatakan, komunikasi ini dilakukan untuk menyampaikan tugas dan pelatihan masing-masing anggota. Fadil menyatakan, selain Zello, penyampaian tugas juga dilakukan melalui Facebook dan Telegram.

"Mereka dites produksi, visi-misi, dan sebagainya, dan punya kemampuan komputer apa. Supaya enggak keciduk, mereka pakai aplikasi Zello, yaitu sejenis aplikasi kayak handy talkie di handphone," tegas Fadil saat dikutip dari Tirto.

Fadil menerangkan, MCA terbagi menjadi tiga grup di Facebook, yakni The United Muslim Cyber Army, Cyber Moeslim Defeat MCA, dan Sniper Team. Satu yang lain adalah The Family MCA di aplikasi WhatsApp.

"Itu yang tadi United MCA itu adalah forum grup WhatsApp yang semua bisa akses, nanti kan kelihatan mana yang bisa menjadi member sejati, mana yang cuma ikut-ikutan," terang Fadil.

Baca :


Sampai sekarang, polisi belum bisa memastikan motif yang melandasi tindakan MCA. Namun, Fadil membuka kemungkinan adanya faktor politis dalam penyebaran hoaks yang dilakukan oleh MCA.

"Terkait motif dengan yang lainnya [masih didalami], 'kan digital forensik sedang berjalan. Kalau kami melakukan pemeriksaan berdasarkan tanya-jawab 'kan bisa ngelantur ke sana-ke mari, tapi kami ada pegangan scientific untuk melakukan integrasi terhadap mereka semua," katanya lagi. (***)

Penggugat Ajukan Banding Kasus Larangan Tionghoa Punya Tanah di DIY

Hukum Dan Undang Undang ~ Pengadilan Negeri Yogyakarta menolak gugatan terhadap Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi.

Instruksi tersebut melarang warga nonpribumi memiliki hak milik atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan kerap berlaku ke warga keturunan Tionghoa.

Penggugat Ajukan Banding Kasus Larangan Tionghoa Punya Tanah di DIY
Keraton Yogyakarta. tirto.id/Riva
Terkait putusan ini, Handoko, advokat sekaligus penggugat mengajukan banding pada Rabu (28/2/2018) ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta. "Sudah [mengajukan banding]," kata Handoko singkat kepada Tirto, Rabu (28/2/2018).

Akta Permohonan Banding tersebut sudah teregistrasi di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dengan nomor 132/Pdt. G/2017/PN.Yyk.

Handoko menggugat Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X dan Kepala Kanwil BPN DIY karena dianggap melanggar Inpres Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi, Pasal 28 I [2] UUD 1945 Amandemen Keempat, dan Pasal 21 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Adapun pertimbangan majelis hakim menolak gugatan itu adalah karena menganggap Instruksi Wagub DIY Tahun 1975 tersebut bukan merupakan peraturan perundang-undangan, namun sebuah kebijakan.

Putusan majelis hakim beralasan, sebelum berlakunya UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, instruksi tersebut merupakan perundang-undangan. Namun, setelah UU tersebut berlaku, maka instruksi bukan lagi sebuah aturan perundang-undangan.

Oleh karena ketentuan itu bukan merupakan peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat dilakukan pembatasan dan pengujian dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan itu menyatakan tidak ada peraturan yang dipakai sebagai dasar pembuatan kebijakan.

"Tetapi pengujian terhadap peraturan kebijakan adalah dengan menggunakan asas-asas pemerintahan yang baik (AAUPB) karena dari segi pembentukannya, peraturan kebijakan bersumber dari fungsi eksekutif," kata Hakim Sri Harsiwi.

Oleh karena itu, menurut Majelis Hakim, untuk mengetahui perbuatan tergugat yang memberlakukan instruksi tersebut melawan hukum atau bukan, maka tidak dapat diuji dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana yang dipaparkan Handoko dalam gugatannya.

Putusan hakim juga mempertimbangkan dalil Sultan, yang diwakili oleh Pemda DIY, bahwa penerbitan dan pemberlakuan instruksi tersebut dengan alasan untuk melindungi warga masyarakat yang ekonominya relatif lemah dan tujuan pengembangan pembangunan DIY di masa yang akan datang.

Baca :


Pertimbangan hakim lainnya yang membuat gugatan tersebut ditolak adalah UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. UU tersebut memberikan hak keistimewaan bagi DIY dalam tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; kebudayaan, pertanahan dan tata ruang.

"Mengadili, dalam eksepsi menolak eksepsi tergugat 1 dan tergugat 2. Dalam pokok perkara menolak gugatan penggugat, menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang sampai saat ini ditaksir sebesar Rp407 ribu," kata Hakim Ketua Condro Hendromukti di PN Yogyakarta, seperti dikutip dari Tirto, Selasa (20/2/2018). (***)

23 Calon Hakim Agung Lolos Seleksi Kualitas Komisi Yudisial

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Komisi Yudisial (KY) meluluskan 23 calon hakim agung (CHA) dari 69 peserta seleksi kualitas CHA Periode II Tahun 2017-2018. Penetapan kelulusan seleksi kualitas tersebut ditetapkan dalam Rapat Pleno KY, Rabu (28/2/2018) di Gedung KY, Jakarta Pusat.

"CHA yang lolos terdiri dari 18 orang dari jalur karier dan 5 orang dari jalur nonkarier," demikian menurut Juru Bicara KY Farid Wajdi, dalam keterangan pers yang dilansir dari Tirto, Rabu (28/2/2018).

23 Calon Hakim Agung Lolos Seleksi Kualitas Komisi Yudisial
Calon Hakim Agung Hidayat Yodi Martono, M Yunus Wahab dan Manao bersiap saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (13/9/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Berdasarkan kamar yang dipilih, sebanyak 6 orang lolos seleksi di kamar Agama, 7 orang lolos seleksi di kamar Perdata, 7 orang lolos seleksi di kamar Pidana, dan 3 orang lolos seleksi di kamar Militer. Namun, tidak ada CHA yang lolos seleksi kualitas di kamar Tata Usaha Negara.

Sementara berdasarkan kategori jenis kelamin, sebanyak 21 orang calon merupakan laki-laki dan 2 orang perempuan yang lolos. Dilihat dari profesi CHA yang lulus seleksi kualitas, sebanyak 18 orang hakim karir, 3 orang akademisi, dan 2 orang berprofesi lainnya.

Berdasarkan kategori strata pendidikan, sebanyak 11 orang bergelar master (S2) dan 12 orang bergelar doktor (S3).

Dalam melakukan penilaian seleksi kualitas, KY menilai karya profesi masing-masing peserta yang identitasnya telah disamarkan terlebih dahulu.

Selain itu juga dilakukan penilaian terhadap studi kasus Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan hasil karya tulis di tempat, penyelesaian studi kasus hukum dan tes objektif. Kemudian nilai dari masing-masing tes itu dikumulasikan. Untuk menentukan kelulusan, maka ditetapkan batas nilai minimum kelulusan.

Peserta yang nilainya memenuhi batas nilai minimum, maka dinyatakan lulus seleksi kualitas.

Pengumuman hasil seleksi kualitas CHA dapat dilihat di website KY yaitu mulai 28 Februari 2018, dan disampaikan surat pemberitahuan kepada pengusul CHA. Selanjutnya, bagi CHA yang memenuhi lolos seleksi kualitas berhak mengikuti Tahap III, yaitu seleksi kesehatan dan kepribadian.

Tes kesehatan akan dilaksanakan pada 2-3 April 2018 di RSPAD Gatot Subroto. Untuk assessment kompetensi dan kepribadian akan dilaksanakan pada 4-5 April 2018. Materi yang diujikan pada seleksi kepribadian meliputi: assessment kompetensi dan kepribadian, rekam jejak, dan masukan dari masyarakat.

"Dalam rangka penelusuran rekam jejak, KY bekerja sama dengan KPK dan PPATK terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta aliran dana yang tidak wajar dari CHA," kata Farid. Untuk itu, KY mengharapkan partisipasi masyarakat (dengan identitas yang jelas) agar memberikan informasi atau pendapat secara tertulis tentang integritas, kapasitas, perilaku, dan karakter CHA yang dinyatakan lolos seleksi kualitas.

Baca :


Informasi atau pendapat tertulis diharapkan diterima Tim Seleksi Calon Hakim Agung Republik Indonesia paling lambat Kamis (29/3/2018) pukul 16.00 WIB, di alamat e-mail: rekrutmen@komisiyudisial.go.id atau alamat Komisi Yudisial Republik Indonesia (Tim Seleksi CHA), Jl. Kramat Raya No. 57, Telp: (021) 3905876-77/31903661 Fax: (021) 31903661, Jakarta Pusat (10450).

Seleksi ini dilakukan untuk mengisi kekosongan delapan jabatan hakim agung di MA yang terdiri dari: 1 orang di kamar Agama, 3 orang di kamar Perdata, 1 orang di kamar Pidana, 2 orang di kamar Militer dan 1 orang kamar Tata Usaha Negara (yang memiliki keahlian hukum perpajakan). (***)

Tak Sesuai Izin, Kegiatan Hujan Duit di Kuningan, Polisi Hentikan Acara Tersebut

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Hujan duit di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan ternyata merupakan acara resmi. Panitia acara itu sudah mengajukan izin ke kepolisian.

Tapi, pelaksanaan acara "hujan duit" yang berlangsung pada Rabu siang (28/2/2018) tersebut, ternyata digelar tidak sesuai izin yang diajukan oleh panitia ke kepolisian.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan panitia acara itu tidak mengajukan izin acara bagi-bagi uang yang ditebar dari atas gedung. Menurut Argo, pihak panitia hanya mengajukan izin untuk membagikan selebaran kepada masyarakat.

Tak Sesuai Izin, Kegiatan Hujan Duit di Kuningan, Polisi Hentikan Acara Tersebut
Ilustrasi Hujan uang. FOTO/iStockphoto
"Kegiatannya bukan bagi duit kegiatannya ternyata bagi duit makanya langsung dibubarin," kata Argo Yuwono saat dihubungi, pada Rabu (28/2/2018).

Peristiwa "hujan duit" tersebut sempat menarik perhatian banyak orang di sekitar Jalan Rasuna Said. Duit yang bertebaran seolah turun dari langit membuat banyak warga berkerumun dan beramai-ramai memungutnya. Akibatnya, kejadian ini sempat memicu kemacetan di sekitar lokasi "hujan uang".

Argo mengatakan ketika kegiatan acara itu mendadak berubah menjadi aksi bagi-bagi uang, polisi kemudian meminta panitia menghentikan acara tersebut.

"Kita tarik (izin), kita bubarin," kata Argo.

Setelah itu, Argo menambahkan, pihak kepolisian memanggil panitia acara tersebut untuk menjalani pemeriksaan dan menjelaskan tujuan kegiatannya. Dia belum menjelaskan hasil pemeriksaan itu.

Baca :


"Nanti kita tunggu ya. kita tunggu bagaimana hasil (pemeriksaan) Polres Jakarta Selatan," kata Argo saat dilansir dari Tirto.

Kejadian "hujan duit" terjadi di depan Plaza Festival, Kuningan, Jakarta. Peristiwa tersebut terekam sejumlah video yang diunggah oleh warganet di media sosial. Dalam video tersebut, sejumlah uang pecahan Rp2000 tampak ditebar untuk dibagikan ke masyarakat dari ketinggian.

Acara "hujan uang" berlangsung sejak pukul 12.45-12.55 WIB. Kegiatan itu merupakan bagian dari promosi fitur aplikasi 17Q yang digelar oleh PT. Tujuh Belas Media Indonesia. (***)

Tak Ada Jaminan Keadilan Bagi Korban Pelanggaran HAM di Putusan MK

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempertanyakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penolakan permohonan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) untuk merevisi Pasal kesusilaan pada Desember silam. Putusan MK tersebut menyimpulkan penolakan terhadap usulan kriminalisasi terhadap perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) serta hubungan di luar nikah.

Wakil Ketua Sekretaris Jenderal MUI, Muhammad Zaitun, mengaku heran atas keputusan MK karena menurutnya mayoritas warga Indonesia beragama. Orang yang beragama, dalam pandangan Zaitun, tidak mengizinkan perilaku LGBT maupun hubungan di luar nikah.

Tak Ada Jaminan Keadilan Bagi Korban Pelanggaran HAM di Putusan MK
Suasan sidang dengan agenda pembacaan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11/2017). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
"Patut ditinjau ulang apakah ini sehat dalam berbangsa dan bernegara untuk urusan-urusan besar yang rata-rata umat dan bangsa kita sepakat masuk," katanya.

Ia juga mempertanyakan kewenangan MK yang begitu besar, sehingga bisa memutuskan suatu hal seperti uji materi pasal kesusilaan.

"Kita prihatin dan berharap ada sesuatu ke depan ini bagaimana caranya ditinjau. DPR saja 600 orang kalau ada yang salah memutuskan bisa ditinjau. Ini sekarang keputusan MK hanya 9 orang. Apalagi kemarin cuma 5 orang karena 4 orang menolak," katanya.

Peran MK dalam Uji Materi Kasus HAM

Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas sekaligus salah satu hakim MK lewat “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia” (2014) yang dipublikasikan Jurnal Konstitusi menyatakan, pembentukan MK sejalan dengan dianutnya paham negara hukum sesuai UUD 1945.

Menurut Isra, kewenangan uji materi yang diamanatkan UUD 1945 kepada MK merupakan bentuk perlindungan maupun jaminan HAM. Dengan kewenangan tersebut, MK mengemban misi untuk mengawasi kekuasaan negara agar tidak terjebak pada tindakan yang melanggar HAM. MK, tulis Isra, tidak saja bertindak sebagai lembaga pengawal konstitusi (guardian of constitution) melainkan juga sebagai “lembaga pengawal tegaknya HAM.”

Jika ditelisik ke belakang, klaim Isra yang menyebut MK sebagai “lembaga pengawal tegaknya HAM” tidak sepenuhnya keliru. Pada 2016, MK menyetujui pengajuan grasi tanpa limitasi (batasan). MK beranggapan bahwa grasi dengan limitasi berpotensi menghilangkan hak konstitusional terpidana. Maka dari itu, putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015 tersebut menyatakan bahwa permohonan pembatasan grasi dalam pasal 7 ayat (2) bertentangan dengan konstitusi.

Lalu, MK juga pernah memutuskan pengidap gangguan jiwa atau ingatan—selama tidak mengidap gangguan jiwa permanen—berhak menggunakan suaranya dalam pemilu. Hal itu dituangkan MK lewat putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 tanggal 13 Oktober 2016.

November 2017, MK membuat keputusan penting dengan mengabulkan seluruh permohonan uji materi yang diajukan empat warga negara Indonesia penganut aliran kepercayaan. Putusan tersebut membuat identitas penghayat kepercayaan diakui negara lewat pencantuman di kolom KTP. Para pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Satu bulan setelahnya, MK lagi-lagi membuat keputusan krusial dengan menolak permohonan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) untuk merevisi pasal terkait kesusilaan (Pasal 284, 285, dan 292 dalam KUHP). MK beralasan tidak punya kewenangan dalam menyusun aturan baru.

Putusan diketok selepas sembilan hakim konstitusi menggelar musyawarah hakim. Dalam musyawarah tersebut terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari empat hakim: Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto. Ada pun lima hakim lainnya, yakni Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M. Sitompul, dan Suhartoyo, menolak opini pemohon. Suara terbanyak dari majelis hakim akhirnya menggagalkan upaya pemohon untuk mengkriminalisasi orang-orang yang “bersetubuh di luar perkawinan” dan “sesama kelamin.”

Permohonan ini dijukan AILA sejak 2016. Mereka meminta MK memperluas subjek yang dijerat dalam pasal 284 tentang perzinaan; tidak hanya orang yang sudah menikah, tapi juga kepada mereka yang berstatus belum menikah.

Majelis berpendapat pasal-pasal yang diajukan untuk judicial review tidak bertentangan dengan konstitusi. Kalaupun pihak pemohon ingin masalah hubungan sesama jenis diperkarakan, semestinya mereka mengajukan rancangan undang-undang yang mengaturnya ke DPR.

Namun, tidak semua putusan MK tentang kasus yang berkaitan dengan HAM berakhir positif. Pada 2006, MK membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU yang dibuat berdasarkan mandat Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Persatuan Nasional itu dianulir MK karena “tidak sesuai UUD 1945” serta dianggap “tidak akan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di Indonesia.”

Satu dekade berselang, MK menolak seluruh gugatan pemohon (Paian Siahaan dan Yati Ruyati, keduanya keluarga korban kerusuhan Mei 1998) yang menilai terdapat ketidakjelasan pada pasal 20 ayat (3) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ketidakjelasan itu menyebabkan ketidakpastian hukum atas peristiwa pelanggaran HAM di masa lampau.

Ketidakjelasan yang dimaksud pemohon ialah kasus yang menimpa keluarga pemohon yang sebetulnya telah dinyatakan pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM (putra Paian, Ucok Munandar adalah korban penghilangan paksa serta anak Yati, Eten Karyana meninggal akibat kerusuhan 1998). Namun, perkara tak kunjung ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung, kendati berkas perkara telah tujuh kali disampaikan Komnas HAM. Tindakan tersebut dinilai pemohon telah melanggar hak konstitusional.

Alasan MK menolak gugatan pemohon adalah bahwa MK tidak memandang pasal itu bermasalah. Yang bermasalah, menurut MK, adalah implementasinya. MK menjelaskan, penyelesaian kasus HAM tidak sebatas persoalan yuridis, tapi persoalan politis. Artinya, harus ada kemauan politik dari pemerintah untuk mengusut pelanggaran HAM yang terjadi pada Mei 1998.

Pada November 2017, MK menolak permohonan uji materi tentang ketentuan larangan pemakaian tanah tanpa seizin pemilik. Penolakan itu dituangkan dalam putusan nomor 96/PUU-XIV/2016. Permohonan uji materi diajukan oleh Rojiyanto, Mansur Daud, dan Rando Tanadi Ketiganya yang merupakan korban penggusuran menilai Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 51 tahun 1960 bertentangan dengan UUD 1945.
Tak Ada Jaminan Keadilan Bagi Korban Pelanggaran HAM di Putusan MK

Akan tetapi, dalam pertimbangan hakim, pokok permohonan yang diajukan pemohon “tidak beralasan hukum.” Hakim menilai, materi yang terkandung dalam Perppu 51 Tahun 1960 sudah tegas melarang siapapun untuk memakai tanah tanpa izin pihak yang berhak. Negara dinilai telah melindungi hak dan pihak yang berhak tanah dari perbuatan menguasai tanah secara melawan hukum.

Selain menolak permohonan pemohon, MK juga tidak mempermasalahkan keterlibatan TNI dalam penertiban lahan. Namun, keterlibatan TNI, tambah MK, harus berada dalam pilihan terakhir. TNI hanya diperbolehkan untuk ikut menertibkan dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi pemerintahan.

Putusan MK tersebut membuat pemerintah daerah di tingkat kabupaten, kota, hingga provinsi tetap diperkenankan melakukan penggusuran terhadap warga yang terbukti menempati tanah tanpa memiliki izin.

Baca :


Mengapa Berbeda?

“Selama ini, hakim MK masih berpatokan pada konstitusi dalam memutuskan perkara soal HAM. Makanya, dalam kasus HAM yang ditangani MK, hasilnya berbeda-beda. Dari hukuman mati hingga kolom kepercayaan di KTP,” ungkap Pengacara Publik dan Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhammad Isnur, saat dikutip dari Tirto.

Hal senada turut diungkapkan staf bidang advokasi KontraS, Putri Kanesia. Ia beranggapan ada perbedaan cara pandang hakim MK dalam melihat persoalan HAM. Selain itu, tambah Putri, terdapat perbedaan pandangan terhadap kerugian yang dialami korban pelanggaran HAM.

“Kasus LGBT dan kolom kepercayaan dianggap MK sudah menimbulkan kerugian nyata. Sementara, saat gugatan UU Pengadilan HAM beberapa tahun lalu, MK menganggap belum ada kerugian untuk para korban 1998. Artinya, hakim MK gagal memahami konteks kerugian HAM di sini,” tegasnya.

Sementara Charles Simabura, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas menyatakan MK tidak bisa memutus perkara HAM dengan sama rata. Terdapat faktor pertimbangan hakim hingga kepentingan yang dibawa.

“Saya pikir yang menyebabkan naik-turunnya keputusan MK dalam masalah HAM adalah pertimbangan hakim serta faktor-faktor lainnya. Kita tidak bisa mengharap semua putusan MK berakhir baik. Ada banyak pertimbangan yang membuat putusan MK bisa berbeda-beda,” ujarnya via sambungan telepon. (***)

WhatsApp The Family of MCA: Dari Anti Ahok ke Isu Kebangkitan PKI

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap 14 anggota grup WhatsApp The Family of MCA, Senin (26/2/2018) dan Selasa (27/2/2018). Penangkapan ke-14 orang ini diduga terkait dengan jaringan penyebar ujaran kebencian yang diduga beroperasi di wilayah siber.

Grup ini mengasosiasikan diri dengan MCA, istilah yang dikenal warganet sebagai akronim dari Muslim Cyber Army—. MCA mulai dikenal warganet saat hiruk pikuk Pilkada DKI 2017, kelompok ini terkenal lantaran menjadi oposan dari petahana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama-Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat.

WhatsApp The Family of MCA: Dari Anti Ahok ke Isu Kebangkitan PKI
Ilustrasi hoax. Getty Images/iStockphoto/WhatsApp The Family of MCA: Dari Anti Ahok ke Isu Kebangkitan PKI
Peneliti dari Departemen Komunikasi dan Informasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Savic Ali menyebutkan tiga hal yang khas dari kelompok MCA: anggotanya anonim, biasa menyebarkan informasi tidak benar, dan berusaha menjatuhkan kredibilitas Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

“Dulu belum ada nama. Mereka urusannya nyerang Ahok saja,” kata Savic saat dihubungi Tirto, Selasa (27/2/2018).

Temuan ini diperoleh Savic dari hasil studinya meneliti kemunculan situsweb dan grup komunitas Islam di dunia siber. Savic menduga kelompok ini tidak terorganisir dan tidak dikomandoi oleh satu orang sebagai sentral pergerakan. Meski begitu, ia menyakini banyak faksi dalam kelompok ini jika ditelusuri lebih lanjut.

Cara kerja kelompok ini, kata Savic, dengan menggunakan isu agama. Isu ini dipilih lantaran agama adalah cara tercepat agar mempengaruhi rakyat Indonesia. Kemudian, kata dia, mereka memakai sumber tidak jelas untuk membuat informasi yang keliru. Apapun yang mereka sampaikan adalah sesuatu untuk menjatuhkan pemerintah, meski isinya tidak benar.

“Semangatnya memusuhi pemerintah dan orang-orang yang mendukung pemerintah [sekarang],” ucap alumnus STF Driyarkara ini.

Dekat dengan Jonru

Setelah Ahok kalah dalam pilkada, Savic menyebut sasaran kelompok ini beralih ke pemerintahan Joko Widodo. Anggota grup ini belakangan diketahui memainkan isu kebangkitan PKI dalam insiden penyerangan ulama. Menurut Savic isu ini merugikan pemerintah.

“[Karena] Waktu Jokowi kampanye [dalam Pilpres 2014], dia di-black campaign oleh Jonru [Jon Riah Ukur Ginting] dan kawan-kawan sebagai PKI,” kata Savic.

Ihwal kedekatan Jonru dengan MCA terungkap dalam postingan Jonru di akun facebook-nya pada 29 Mei 2017. Jonru pernah mengunggah keterangan soal MCA yang ia sebut “Bukanlah suatu organisasi lembaga, komunitas, yayasan, parpol, perusahaan, ataupun organisasi masyarakat. Namun, siapapun yang menyuarakan dakwah membela kebenaran di media sosial adalah bagian MCA.”

Jonru diketahui merupakan orang yang acap mengkritik Presiden Joko Widodo. Pada 3 April 2015, Jonru mengunggah tulisan berjudul “5 Alasan Jokowi Tidak Layak Jadi Presiden” di beranda Facebooknya.

Humas Persaudaraan Alumni 212, Novel Bamukmin menilai, MCA yang ditangkap polri bukanlah MCA yang terlibat dalam demonstrasi penentang Ahok saat Pilkada DKI 2017. Menurut Novel, MCA yang menyebarkan hoax adalah MCA palsu.

“MCA sangat berakhlaq, kerjanya hanya melawan hoax rezim ini,” ucap Novel.

Partisan Politik?

Dari riset yang dilakukan Savic selama tiga bulan dan melibatkan lebih dari 350 ribu cuitan di twitter,—belum termasuk unggahan Facebook dan Instagram—, kebanyakan ujaran kebencian berasal dari partisan politik, sebagian lainnya terafiliasi atau mengklaim sebagai MCA.

Di Twitter, akun MCA memang cukup banyak. Tidak satu pun diketahui mana yang asli. Di Facebook, ada salah satu akun MCA yang memiliki anggota 1,1 akun.

Savic menyebut, riset yang dia lakukan masih belum tuntas. Ia tidak mau membeberkan simpatisan partai mana yang menjadi pendonor paling banyak soal ujaran kebencian.

“MCA ini bukan kelompok tunggal. Saya duga memang ada kelompok lain yang lebih lihai memainkan [mereka],” kata Savic.

Soal afiliasi politik anggota grup The Family of MCA, polisi belum mau berkomentar. Mereka beralasan akan menjelaskan secara lengkap dalam rilis penangkapan anggota grup yang akan dilaksanakan Rabu siang, (28/2/2018).

Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Mohammad Iqbal juga belum tahu afiliasi politik 14 tersangka ini dengan grup Facebook dan akun twitter MCA. Ia juga belum mau memberikan jawaban ketika ditanya soal peran masing-masing pelaku.

Terpisah, Kasubsit I Dirtipidsiber Bareskrim Polri Kombes Irwan Anwar mengatakan penangkapan terhadap 14 orang ini tidak ada hubungan dengan tahun politik. Menurut Irwan, penangkapan ini murni dilakukan lantaran pelaku kerap menyebar konten berisi ujaran kebencian.

Baca :


“Mereka ‘kan ditangkap karena ramai menyebarkan hoaks penyebaran ulama itu,” terangnya saat dikutip dari Tirto.

Sementara Novel merasa penangkapan ini menunjukkan rezim Jokowi sedang membungkam oposisi politiknya. Ia juga menyayangkan sikap kepolisian yang dinilainya sudah tidak netral.

“Polisi sudah tidak netral dan sudah secara tidak langsung berpolitik karena menjadi kepanjangan tangan penguasa saat ini dengan membabi buta menangkapi orang yang justru memberantas PKI,” tegas Novel. (***)

Peneliti MK: DPR Perkarakan Pers Pakai UU MD3 Sama dengan Uji Nyali

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Peneliti dari Mahkamah Konstitusi (MK), Nallom Kurniawan, memprediksi DPR akan berpikir berulang kali jika mau memperkarakan pers yang dinilai merendahkan martabat mereka. Sebab, alih-alih memusuhi, wakil rakyat justru ingin terus dekat dengan media massa.

"Legislatif tidak akan berani memperkarakan wartawan. Itu uji nyali namanya," kata Nallom ketika menjadi narasumber pada acara "Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Wartawan Indonesia" di Bogor, Jawa Barat, Rabu (28/2/2018).

Peneliti MK: DPR Perkarakan Pers Pakai UU MD3 Sama dengan Uji Nyali
Suasana Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (14/2/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Pernyataan Nallom dalam rangka merespons Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) hasil revisi yang disahkan pada 12 Februari lalu. Dengan aturan ini, legislatif punya kewenangan untuk memanggil paksa siapa pun dengan bantuan polisi, termasuk wartawan—sepanjang memenuhi syarat.

Pada Pasal 122 huruf k UU MD3 tertulis: "Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR".

Dengan beleid ini, suatu saat mungkin saja ada anggota dewan yang memperkarakan jurnalis karena tersinggung dengan tulisannya. Sementara di satu sisi, kerja-kerja jurnalis mengharuskan mereka tidak hanya melaporkan hal-hal yang "disenangi" anggota dewan, tapi juga yang negatif asalkan memang berimbang.

Beleid ini tentu tidak hanya berpengaruh kepada juru warta, tapi juga seluruh warga negara. Secara lebih luas, aturan ini dapat mengancam kebebasan berekspresi yang sebetulnya sudah dijamin dalam Undang-Undang Dasar.

Sama seperti banyak pasal dalam UU yang bermasalah, tidak pernah ada batasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan "merendahkan kehormatan."

Nallom menilai kasus ini mirip seperti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Meski paling jelas mendefinisikan apa itu pornografi dibanding UU ITE dan KUHP, aturan itu tidak serta-merta membuat banyak orang kena pidana.

Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

"Kalau definisi ini diterapkan konsisten, orang yang mandi di sungai bisa kena pasal. Tapi kan tidak. Jadi meskipun UU MD3 sudah diresmikan, tidak serta merta berlaku begitu saja," tambah Nallom saat dilansir dari Tirto..

Baca :


Ia pun mempersilakan siapapun yang merasa hak konstitusinya dirugikan dengan terbitnya aturan ini untuk melakukan uji materi di MK.

Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) jadi pihak pertama yang menggugat UU MD3, 14 Februari lalu. Gugatan kedua berasal dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang dilayangkan pada 23 Februari.

Tuesday, February 27, 2018

Polisi Tangkap 14 Anggota Grup The Family MCA dari Sejumlah Kota

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri telah menangkap 14 orang yang tergabung dalam grup WhatsApp 'The Family MCA' sepanjang tahun 2018. MCA diduga adalah singkatan dari Muslim Cyber Army.

Kasubsit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Pol Irwan Anwar mengatakan sekitar 8 orang ditangkap oleh polisi pada awal 2018. Sementara 6 lainnya baru ditangkap pada Senin kemarin (26/2/2018).

Ilustrasi hoaks. Getty Iamges/iStockphoto/WhatsApp 'The Family MCA'
Irwan menjelaskan dari banyak anggota grup WhatsApp 'The Family MCA', polisi hanya menangkap mereka yang diduga berperan penting dalam kasus penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.

Enam anggota grup WhatsApp 'The Family MCA', yang ditangkap pada Senin kemarin, terciduk di sejumlah kota berbeda. Menurut Irwan, mereka ditangkap oleh polisi di Jakarta, Sumedang, Pangkal Pinang, Bali, Palu dan Yogyakarta. Dari enam orang itu, lima orang yang sudah diumumkan identitasnya oleh polisi adalah Muhammad Luth, Rizky Surya Dharma, Yuspiadin, Romi Chelsea, dan Ramdani Saputra.

Irwan menambahkan penyidik kepolisian juga berencana mengejar satu pelaku lainnya yang diduga berada di Korea Selatan.

Sayangnya, Irwan belum menjelaskan motif 14 anggota grup WhatsApp 'The Family MCA' tersebut dalam aktivitas penyebaran ujaran kebencian. Menurut dia, penyidik kepolisian masih mendalami motif mereka. Polisi juga belum menjelaskan kemungkinan aktivitas mereka dilandasi motif ekonomi sebagaimana sindikat Saracen.

"Nanti kami dalami dulu, tersangka baru sampai. Yang dari Palu dan Yogyakarta baru sampai," kata Irwan saat dihubungi Tirto pada Selasa (27/2/2018).

Berdasar penyelidikan polisi di sejumlah telepon pintar milik 14 orang tersebut, ada 9 grup WhatsApp lain yang memakai nama MCA atau menyerupainya. Menurut Irwan, grup-grup WhatsApp ini memang memiliki jumlah anggota lumayan banyak.

Sembilan grup selain yang bernama The Family MCA adalah Akademi Tempur MCA, Pojok MCA, The United MCA, The Legend MCA, Muslim Coming, MCA News Legend, Special Force MCA, Srikandi Muslim Cyber dan Muslim Sniper.

Baca :


Menanggapi kasus ini, Staf khusus Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Henri Subiakto menyatakan polisi memang bisa saja menangkap penyebar ujaran kebencian dan hoaks via aplikasi pengiriman pesan WhatsApp. Sebab, penyebar ujaran kebecian dan hoaks juga bisa membagikan pesan ke banyak orang melalui sarana WhatsApp.

"Bagaimana Anda bisa menjamin informasi itu tertutup? Kalau memang isinya satu atau dua, apa bisa dijamin tidak menyebar? Kalau bertambah anggota sampai 20 saja itu juga sudah menyebar ke publik," kata Henri seperti dilansir dari Tirto. (***)

Segera Periksa Budi Tjahjono, KPK Pelajari Kerugian Negara Kasus Jasindo

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan konfirmasi terkait tersendatnya proses penyidikan kasus mantan Direktur Utama PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), Budi Tjahjono.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, menyatakan saat ini pihaknya masih mempelajari hasil audit kerugian negara dalam perkara tersebut.

“Perhitungan kerugian keuangan negara sudah diterima KPK. Setelah itu tentu kita harus pelajari lebih lanjut,” kata dia.

Segera Periksa Budi Tjahjono, KPK Pelajari Kerugian Negara Kasus Jasindo
Tersangka Mantan Dirut Jasindo Budi Tjahjono (kanan) (istimewa)/Aktual.
Ia mengatakan pihaknya akan mencocokan audit tersebut dengan keterangan para saksi yang telah diperiksa KPK. Hasil ini akan jadi bahan penyidik saat memeriksa Budi Tjahjono nanti.

“Kebutuhan pemeriksaan lebih lanjut. Itu langkah signifikan dalam penanganan perkara. Karena kita pakai pasal 2 pasal 3,” kata dia saat dikutip dari Aktual.

Meski demikian Febri belum dapat memastikan kapan pihaknya akan menghadirkan Budi Tjahjono ke ruang pemeriksaan KPK.

“Nanti kita sampaikan lebih lanjut jadwal pemeriksaan. Tentu akan kita periksa,” kata Febri.

Tercatat sudah hampir satu tahun berjalan kasus ini bergulir sejak KPK membuka adanya korupsi dalam pembayaran komisi kegiatan fiktif agen Jasindo dalam penutupan asuransi oil and gas pada BP Migas, Kontraktor Kontrak Kerjasama Migas (KKKS) periode 2010-2012 dan 2012-2014, pada 3 Mei 2017 silam dengan ditetapkannya tersangka Budi Tjahjono.

Kasus ini sendiri tidak bisa dipandang sebelah mata, setidaknya pada perkara ini nilai kerugian negara yang ditimbulkan berdasarkan perhitungan sementara KPK sebesar Rp15 miliar.

Angka itu didapatkan KPK dari adanya fee fiktif yang diberikan Jasindo kepada para “Broker”. KPK menduga fee itu merupakan akal-akalan Budi Tjahjono Cs untuk mengisi kantong-kantong pribadi mereka.

Lebih jelasnya kasus itu bermula pada 2009, ketika BP Migas membuka lelang terbuka terkait pengadaan jasa asuransi untuk menutup aset dan proyek di Kontrak KKS. Untuk ikut tender itu, PT Jasindo menunjuk satu orang agen.

Panitia pengadaan tersebut akhirnya mengumumkan PT Jasindo sebagai pemenang, dan menunjuknya sebagai pemimpin konsorsium dengan keanggotan yang terdiri dari PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia selaku ketua dua konsorsium, PT Asuransi Central Asia, PT Asuransi Sinarmas, PT Asuransi Astra Buana, ASEI, dan PT Adira Dinamika.

BP Migas kemudian membuka tender kedua pada 2012. Kali ini, terkait terkait lelang jasa asuransi aset dan proyek BP Migas. PT Jasindo yang menggunakan jasa agen, kembali menang tender.

Disinilah KPK menemukan bahwa PT Jasindo sebetulnya tak memerlukan agen. Sebab proses tender dilaksanakan secara terbuka. Oleh karenanya KPK menilai bayaran terhadap dua agen yang ditunjuk PT Jasindo tersebut sebagai kerugian keuangan negara.

“BTJ (Budi Tjahjono) selaku direksi diduga melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang pembayaran kegiatan fiktif asuransi oil and gas BP Migas,” Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/4/2017).

Baca :


Febri melanjutkan, selain itu ada indikasi aliran dana yang diberikan kepada agen juga mengalir kembali ke beberapa pejabat di PT Jasindo. “Fee komisi alasannya dianggap berjasa proses lelang di BP migas namun diduga komisi tersebut juga diduga mengalir ke pejabat di PT Jasindo,” kata dia.

Atas perbuatan itu, Budi Tjahjono disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

The Family of MCA Terkait Muslim Cyber Army?

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Polisi menangkap empat orang terkait dengan ujaran kebencian yang dilakukan kelompok The Family of MCA. Keempat tersangka ditangkap polisi di tempat tempat berbeda, Senin (26/2/2018).

Keempat orang ini bergabung dalam grup aplikasi Whatsapp bernama "The Family MCA".

Keempat orang yang ditangkap adalah Muhammad Luth, Rizki Surya Dharma, Ramdani Saputra, dan Yuspiadin. Polisi menduga empat orang ini menyebarkan isu provokatif di media sosial.

The Family of MCA Terkait Muslim Cyber Army?
Ilustrasi hoax. Getty Images/iStockphoto/The Family of MCA Terkait Muslim Cyber Army?
“Berdasar hasil penyelidikan, grup ini sering melempar isu yang provokatif di media sosial seperti isu kebangkitan PKI, penculikan ulama, dan penyerangan terhadap nama baik presiden, pemerintah, serta tokoh-tokoh tertentu,” kata Direktur Cybercrime Bareskrim, Brigjen Muhammad Fadil Imran melalui keterangan tertulis, seperti dilansir dari Tirto, hari Selasa (27/2/2018).

Kronologis Penangkapan

Dari informasi yang dirilis kepolisian, Muhammad Luth merupakan karyawan swasta yang beralamat di Sunter Muara, Tanjung Priok. Dia merupakan tersangka yang ditangkap pertama kali oleh polisi sekitar pukul 06.00 WIB. Polisi menyita sejumlah barang bukti seperti handphone, flashdisk, dan laptop.

Setelah Muhammad Luth (ML) ditangkap, polisi mencokok Rizki Surya Dharma (RSD) di Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Rizki merupakan seorang PNS yang bekerja di Puskesmas Kecamatan Selindung. Ia ditangkap sekitar pukul 09.15 WIB, polisi juga menyita laptop, handphone, dan flashdisk.

Sekitar tiga jam berselang, tepatnya pukul 12.20 WIB, polisi menangkap Ramdani Saputra (RS) yang merupakan karyawan pabrik elektronik di di Jembrana, Bali. Ramdani ditangkap dengan sejumlah barang bukti berupa handphone dan kartu sim.

Kemudian pada pukul 13.00 WIB, polisi menangkap Yuspiadin (YUS) di Jatinunggal, Sumedang, Jawa Barat. Lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai wiraswasta ini ditangkap dengan barang bukti dua buah handphone.

Brigjen Fadil menyebut, keempat tersangka sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi Ras dan Etnis (SARA). Tindakan mereka melanggar pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau pasal Jo pasal 4 huruf b angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau pasal 33 UU ITE.

Asal Istilah MCA

Istilah MCA sudah tak asing di telinga sebagian orang. Follower twitter atau orang yang berteman Jon Riah Ukur Ginting alias Jonru di Facebook mungkin sudah pernah mendengar istilah ini. Pada 29 Mei 2017, Jonru sempat memberi testimoni soal MCA.

“MCA [Muslim cyber Army] bukan organisasi, bukan lembaga, bukan komunitas, bukan yayasan, bukan perusahaan, bukan partai politik, bukan ormas. Setiap umat Islam yang tergerak hatinya dan melakukan action untuk berdakwah membela kebenaran di media sosial, maka dia adalah MCA,” begitu kata Jonru di laman Facebook-nya.

Melansir Jalantikus.com, Muslim Cyber Army (MCA), sudah ada sejak tahun 2010, akan tetapi sempat vakum hingga 2014. Saat itu, salah satu anggotanya yang paling terkenal memiliki kode nama Bill Gate. Kelompok ini awalnya bagian dari Anonymous yang kerap meretas.

Peretasan umumnya ditujukan ke situs pemerintahan, tapi mereka tidak pernah mencampuri urusan politik. Kelompok ini mulai ramai diperbincangkan pasca-Pilkada DKI 2017. Selang satu tahun berganti, polisi menangkap empat orang yang diduga terkait dengan The Family of MCA.

Baca :


Sejauh ini, kepolisian belum mengungkap apakah keempat orang ini merupakan bagian dari Muslim Cyber Army (MCA) ataukah kelompok lain yang hanya mencatut nama MCA. The Family of MCA, kata Fadil, juga kerap menyebarkan virus yang dapat merusak perangkat elektronik bagi penerima pesan.

Nama MCA ini digunakan untuk beberapa akun Twitter, tapi masih belum diketahui apakah keempat orang ini juga menjadi pengurus akun tersebut, namun salah satu dari akun yang memakai nama MCA memiliki pengikut hingga 15,9 ribu akun. (***)