Tuesday, February 13, 2018

RKUHP: Berikut Alasan Layak Ditolak Dan Tidak Disahkan

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuntut pemerintah agar menarik draf Revisi Undang-Undang KUHP dan membahasnya kembali dengan berbasis pada data dan pendekatan lintas disiplin dengan melibatkan berbagai pihak.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mewakili 37 ormas dan LSM yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, saat konferensi pers, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/2/2018).

“Hentikan seluruh usaha mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial,” kata Erasmus.

Baca juga:  RUU KUHP Dinilai Berpotensi Mendiskriminasi Anak dan Perempuan  RKUHP Bisa Mempersulit Kampanye Keluarga Berencana
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP memberikan tujuh alasan mengapa publik harus menolak RUU KUHP disahkan/Tirto.


Selain itu, kata Erasmus, aliansi masyarakat sipil ini juga menuntut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menolak RUU KUHP menjadi dagangan politik partai-partai di DPR.

Mengapa RKUHP Harus Ditolak?

Setidaknya terdapat 7 alasan yang disampaikan oleh aliansi ini sebagai dasar tuntutan mereka. Pertama, RUU KUHP dianggap sangat represif dengan persepektif pemenjaraan melebihi KUHP produk kolonial.

Asril, perwakilan dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LEIP), dalam kesempatan yang sama menyatakan, dari 1.251 perbuatan pidana dalam draf RUU KUHP, 1.198 di antaranya diancam dengan pidana penjara. Menurut dia, kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan lembaga pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas.

“Kami mau menghilangkan kolonialisasi, salah satunya dengan mengurangi ancaman hukuman. Saat ini kita malah menaikkan ancaman hukuman melebihi Belanda itu sendiri," kata Asril.

Ia mencontohkan, pasal penghinaan presiden yang ancaman hukumannya naik satu tahun, dari 4 tahun penjara menjadi 5 tahun yang bisa membuat pelakunya langsung ditahan. “Di Belanda itu tidak sampai 5 tahun,” kata Asril.

Kedua, aliansi ini berpandangan draf RUU KUHP yang saat ini disusun DPR dan pemerintah belum berpihak pada kelompok rentan, terutama perempuan. Menurut Khotimun Sutanti atau yang akrab disapa Imun, perwakilan LBH APIK, hal ini terlihat dalam pasal perzinaan dan “samenleven.”

Imun menilai, dua pasal tersebut dibuat tanpa pertimbangan yang matang dan berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi.

"Ini bisa meningkatkan angka kawin di bawah umur yang sudah dialami 25 persen anak perempuan di Indonesia. Data BPS 5 persen dari anak yang kawin di bawah umur itu putus sekolah," kata Imun.

Selanjutnya, kata Imun, dua pasal tersebut juga rentan menjerat korban kekerasan seksual dengan pidana dan membatasi hak mereka terhadap akses kesehatan.

“Korban kekerasan seksual akan takut untuk melapor. Karena dia bisa justru dipidanakan ketika tidak bisa membuktikan dirinya sebagai korban. Ketika mereka memeriksakan kerusakan organ tubuhnya akibat kekerasan juga malah bisa dipidana," kata Imun.

Lagi pula, kata Imun, pemerintah tidak tepat memidanakan ranah privat. Dua pasal tersebut justru menunjukkan lemahnya peran pemerintah dalam menanggulangi kekerasan seksual.

"Pidana itu ultimum remidium yang harusnya menjadi penyelesaian paling akhir dari sebuah persoalan. Apakah peran agama, budaya dan pendidikan sudah segagal itu sampai ranah privat dipidanakan," kata Imun.

Ketiga, aliansi ini juga berpandangan RUU KUHP mengancam program pembangunan pemerintah, terutama program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan.

Ricky Gunawan, perwakilan dari LBH Masyarakat, dalam kesempatan yang sama mengatakan, larangan penyebaran informasi tentang kontrasepsi, seperti yang termaktub dalam pasal 534 RUU KUHP berpotensi menghambat program pencegahan HIV/AIDS.

“Ini wujud miskoordinasi antarlembaga pemerintah. Ada kriminalisasi terhadap kondom. Kalau kondom dikriminalisasi akan menghambat program penanganan HIV/AIDS," kata Ricky.

Keempat, aliansi ini berpendapat RUU KUHP mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi. Ade Wahyudin, perwakilan dari LBH Pers menyatakan, salah satu bukti dalam hal ini adalah pasal 309 RUU KUHP perihal “Berita Bohong” dan pasal 328-329 perihal contempt of court.

Ade menyoroti pasal 309 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".

Menurut Ade, frasa "mengakibatkan keonaran" pada ayat (1) tersebut berpotensi multitafsir dan sangat rentan untuk mengkriminalisasi wartawan yang kesehariannya mencari berita.

Ade mencontohkan multitafsir ayat tersebut ketika ada wartawan meliput suatu kasus korupsi, lalu mewawancarai KPK dan mewawancarai narasumber lain untuk mendapatkan cover both side sesuai etika jurnalistik. Namun, ketika berita tersebut sudah disiarkan dan ternyata narasumber tidak akurat dan tidak betul memberi informasinya, maka wartawanlah yang akan dianggap memberitakan kebohongan.

"Ini bisa teman-teman kena pasal tersebut," kata Ade.

Hal yang sama, kata Ade, juga bisa berlaku bagi pasal contempt of court. Menurut dia, ketika wartawan meliput di pengadilan, hakim atau pihak manapun bisa memperkarakan dengan alasan mempengaruhi integritas hakim karena berita yang tersiar dianggap tidak sesuai dengan yang mereka inginkan.

Terkait ini, Ade merujuk pada Pasal 329 huruf (d) yang berbunyi "Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak Hakim dalam sidang pengadilan."

Sementara, kata Ade, apabila merujuk pada pasal 328, maka wartawan bisa dikenakan pidana 5 tahun penjara karena perbuatan tersebut.

Pasal lain yang bisa membungkam kebebasan berekspresi adalah pasal 494 Tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia yang berbunyi “Setiap orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau profesinya baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".

Ade menilai, maksud rahasia di sini masih multitafsir. Sedangkan wartawan dalam melakukan wawancara kerap mendapat informasi yang bersinggungan dengan rahasia instansi tertentu, namun diungkapkan oleh narasumber secara terbuka.

"Jadi nanti ketika teman-teman wartawan mempublikasikan rahasia jabatan, yang saat ini memang belum jelas apa itu rahasia jabatan yang berada di RKUHP, teman-teman bisa juga kena pasal ini," kata Ade saat dilansir dari Tirto.

Kelima, aliansi ini juga menilai RUU KUHP masih memuat banyak pasal karet dan tak jelas yang mendorong praktik kriminalisasi, termasuk intervensi terhadap ruang privat. Erasmus, perwakilan dari ICJR mengatakan, bukti atas hal ini adalah masuknya unsur living law atau peraturan yang hidup di masyarakat dalam RUU KUHP, yakni pasal 2.

"Yang bahaya itu hukum itu tidak diinterpretasikan oleh pemangku adat, tapi oleh KUHP. Penegakan hukumnya juga oleh aparat. Ini bisa membuat Anda yang tidak tahu adat suatu daerah terkena pidana karena dianggap melanggar hal itu," kata Erasmus.



Terlebih, kata Erasmus, ke depannya dalam pengaplikasian pasal tersebut bisa diterapkan dalam bentuk Perda. Menurut dia, itu bisa membuat hukum pidana yang tumpang tindih.

Keenam, aliansi ini berpandangan RUU KUHP mengancam eksistensi lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), BNN, dan Komnas HAM, yakni dengan adanya wacana penambahan pasal tindak pidana narkoba, korupsi dan pelanggaran HAM berat di RUU KUHP.

Baca :


Perwakilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Tama S. Langkun menilai, adanya delik-delik pidana korupsi dalam RUU KUHP bisa membuat KPK tidak berfungsi dan melemah. Karena, KUHP nantinya akan menuntut UU Pemberantasan Korupsi No 28 tahun 1999 dan UU KPK nomor 30 tahun 2002 menyesuaikan yang berpotensi menghilangkan beberapa pasal penindakan korupsi yang spesifik.

"Penyesuaian dalam KUHP itu tidak tepat. Jadi lebih baik UU Korupsi yang diperkuat," kata Tama.

Ketujuh, merujuk pada enam alasan sebelumnya, aliansi ini menganggap RUU KUHP telah nyata dibahas tanpa melibatkan lembaga pemerintah dalam sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya.

"Presiden Jokowi harus hati-hati, karena jika RKUHP ini disahkan sekarang bisa merugikan pemerintahannya karena dianggap membangkang konstitusi," kata Erasmus. (***)

No comments:

Post a Comment