Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) ~ Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban yang terdiri dari beberapa elemen masyarakat mendorong agar segera dibentuk lembaga yang berfungsi memberikan perlindungan. Pada tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR. Pada tahun 2003, Indonesia melakukan ratifikasi Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003. Dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang dekat dengan mereka.
Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan Undang-undang ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.
Perlindungan terhadap saksi, korban, atau bahkan terdakwa ketika memberi pernyataan dalam persidangan telah dijamin KUHP dan KUHAP. Apakah mereka tetap bisa diperkarakan? |
Bahwa pembentukan LPSK di Indonesia juga berkaca pada lembaga sejenis yang sudah lebih ada dahulu di Amerika Serikat, lembaga tersebut bernama WITSEC (Witness Security Program) Program ini secara administratif dilaksanakan oleh United States Department of Justice (sejenis Depkumham di indonesia) dan operasionalisasinya oleh United States Marshals Service (Salah satu agen penegak hukum AS yg berada dibawah US Dept. of Justice).
Semangat pembentukan LPSK di Indonesia sedikit berbeda dengan pembentukan lembaga WITSEC di Amerika. Pembentukan WITSEC lebih ditujukan kepada kejahatan serius dan terorganisir. Biasanya saksi yang dilindungi oleh program ini adalah tersangka suatu kejahatan, kemudian dengan suatu pembicaraan dengan penegak hukum, diberikan kesempatan bagi mereka yang mempunyai informasi yang dapat membongkar kejahatan yang lebih besar, akan mendapatkan keringanan hukuman. Salah satu fungsi dari adanya kesempatan tersebut juga yang menjadi jalan keluar bagi para penegak hukum di Amerika karena kesulitan membongkar kasus-kasus besar tanpa adanya keterlibatan orang dalam.
Sementara semangat pembentukan lembaga perlindungan saksi dan korban lebih disadari karena banyaknya saksi yang mengalami ancaman sehingga tidak dapat memberikan informasi yang mereka punya, dimana informasi tersebut sangat penting bagi aparat penegak hukum. Disini dapat terlihat adanya perbedaan, bahwa LPSK lebih banyak berperan dalam hal perlindungan terhadap para saksi, sementara WITSEC lebih banyak berhubungan dengan para pelaku kriminal atau justice colaborator yang berhubungan dengan kejahatan terorganisir.
Pernyataan seseorang dalam persidangan seringkali membuka informasi-informasi yang bisa saja menyudutkan pihak lain yang disebut-sebut. Pernyataan seseorang dalam persidangan sering pula mendapat respons tindakan hukum oleh pihak lain.
Persoalan terbaru misalnya, saat nama mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disebut-sebut dalam persidangan kasus korupsi e-KTP. Partai Demokrat berencana melaporkan pengacara Setya Novanto, Firman Wijaya, karena dinilai mencemarkan nama baik Ketua Umum mereka sekaligus Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebagai penasihat hukum, Firman dituding sengaja mengarahkan saksi, dalam hal ini Mirwan Amir, sehingga menyebut nama SBY di persidangan.
"Kami akan melaporkan yang bersangkutan [Firman Wijaya] ke Polda Metro Jaya atas dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik," kata anggota Divisi Hukum dan Advokasi DPP Demokrat Ardy Mbalembout, Senin (29/1/) kemarin.
Pada Kamis, 24 Januari lalu, sidang kasus korupsi KTP-elektronik dengan terdakwa Setya Novanto mengagendakan pemeriksaan saksi Mirwan Amir, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR periode ketika kasus korupsi KTP-elektronik terjadi, 2009-2014.
Di sana, Mirwan mengaku ada instruksi langsung dari SBY agar program pengadaan KTP-elektronik tetap dilanjutkan, meski—menurut kesaksiannya sendiri—SBY tahu bahwa proyek miliaran rupiah yang dianggarkan lewat APBN itu bermasalah. Dalam konteks ini, Firman Wijaya selaku pengacara justru berpotensi diperkarakan secara hukum, bukan Mirwan Amir selaku saksi dalam persidangan.
Contoh lainnya yaitu saat anggota Front Pembela Islam (FPI) Habib Novel Chaidir Hasan melaporkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, 14 Desember 2016 silam. Novel melaporkan Ahok karena dinilai kembali menista agama saat menyampaikan eksepsi dalam persidangan.
Ucapan Ahok yang dipersoalkan berbunyi: "ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat," dan "dari oknum elite yang berlindung di balik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan Al-Ma’idah."
Ahok menyampaikan kalimat-kalimat tersebut di depan majelis hakim, sehari sebelum dilaporkan Desember 2016.
Dilindungi Hukum
Perlindungan terhadap saksi, korban, atau bahkan terdakwa ketika memberi pernyataan dalam persidangan telah dijamin Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, dari dua contoh kasus di atas, jaminan hukum tidak cukup menghentikan upaya pihak-pihak tertentu untuk mempermasalahkan pernyataan yang keluar dalam persidangan.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Hajar, mengatakan bahwa eksepsi, atau penolakan/keberatan yang disampaikan terdakwa karena dakwaan yang diberikan kepadanya dibuat dengan cara yang tidak benar di persidangan memang tidak bisa diperkarakan untuk memunculkan perkara baru.
"Pada dasarnya pernyataan, pendapat, dan pembelaan di dalam persidangan tidak dapat dilakukan penuntutan, sepanjang dilakukan dengan itikad baik," kata Abdul kepada Tirto,Selasa (30/1/2018).
Dalam kasus Ahok polisi masih konsisten menjalankan hukum. Hal ini terbukti dengan keluarnya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang mengatakan bahwa penyelidikan kasus dihentikan, pada 24 Januari kemarin. Alasannya sama persis dengan pernyataan Abdul, bahwa apa yang dikatakan Ahok dilindungi aturan, tidak ada indikasi pidana sama sekali.
Hal yang sama bakal jadi alasan mengapa pelaporan terhadap Firman Wijaya bisa jadi salah kaprah. Menurut Abdul, selama persidangan Firman dilindungi KUHAP sekaligus Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
"Apa yang dikatakan oleh terdakwa dan/atau penasihat hukum dalam persidangan tidak dapat dilakukan penuntutan," kata Abdul.
Begitu juga menurut pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda. "Itu termasuk yang dilindungi, imunitas advokat," kata Chairul kepada Tirto.
Berdasarkan KUHP, tak ada materi kesaksian di persidangan Novanto yang bisa diperkarakan. Proses hukum hanya bisa diterapkan pada kesaksian palsu, sesuai isi Pasal 242 KUHP yang berbunyi: "barangsiapa... dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, dengan lisan atau tulisan, secara pribadi atau melalui kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun."
Proses hukum terhadap mereka yang memberi keterangan palsu juga harus sesuai aturan. Chairul berkata, penilaian kejujuran saksi dalam persidangan sudah diatur pada Pasal 174 KUHAP yang tertulis: "jika kesaksian seseorang disangka palsu maka hakim ketua sidang bisa mengeluarkan peringatan. Kemudian, apabila saksi tetap menyampaikan keterangan yang diduga palsu, hakim dapat memberi perintah supaya ia ditahan untuk dituntut perkara dengan dakwaan penyampaian sumpah palsu."
- Rekaman Telepon Oka Masagung-Setnov: Ada Kata Cepek dan Nama Baru
- Marak Eksploitasi Seksual Anak, Polisi Dinilai Bersikap Pasif
- Akhirnya, OJK Terbitkan 3 Peraturan Tentang Penerbitan Obligasi dan Sukuk Daerah
- Komisi I DPR Jelaskan Soal Anggaran Paspampres di Acara Daerah
- Korupsi Ditjen Hubla: KPK Cermati Pengakuan Tonny Budiono Soal Dana ke Paspampres
- Langkah Awal Robert Pakpahan Nakhodai Direktorat Jenderal Pajak
- Tugas Luky Sebagai Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
- KPK Cocokan Bukti Aliran Dana Korupsi e-KTP ke Anggota DPR
- Wejangan Menteri Keuangan untuk Direktur Jenderal Pajak yang Baru
- Robert Pakpahan Dirjen Pajak Baru
Meski dilindungi hukum, tapi bukan berarti tidak ada celah sama sekali. Ada kemungkinan Firman terjerat pidana jika yang kemudian diusut Partai Demokrat adalah keterangan saat diwawancarai wartawan lepas sidang selesai. Menurut Abdul, pernyataan Firman di luar persidangan sulit dikategorikan sebagai perbuatan kuasa hukum dalam membela kliennya.
"Karena itu tindakan di luar sidang, sulit untuk mengukurnya sebagai bagian dari pelaksanaan UU Advokat. Karena itu terbuka kemungkinan untuk dipersoalkan," kata Abdul seperti dilansir dari Tirto.
Partai Demokrat belum mengeksekusi wacana pelaporan Firman Wijaya, sehingga pernyataan mana yang akan dilaporkan masih tidak diketahui. Ardy Mbalembout dari Divisi Advokasi Demokrat hanya mengatakan bahwa apa yang dikatakan Firman kepada Wartawan hanya "asumsi dari keterangan saksi." (***)
No comments:
Post a Comment